Cerita mistis pendakian gunung ciremai
Mendaki Gunung Ciremai (Yang Katanya Mistis) via Apuy Majalengka
“Ciremai Neng, Kang, ojek ojek”, ujar beberapa Mamang Ojek begitu saya dan Janatan turun dari elf yang membawa kami dari Cileunyi ke Terminal Maja, Majalengka.
Kami berdua berencana untuk mendaki Gunung Ciremai, spontan saja. Meski sudah mendengar cerita-cerita mistis tentang pendakian Gunung Ciremai, kami tetap ingin mendaki titik tertinggi di Jawa Barat ini.Toh kita niatannya baik, pasti di sepanjang jalan juga akan baik-baik saja. Dulu sempat baca cerita blog tentang pendaki yang “disesatkan” di Ciremai dan baca blognya Acen Jalan Pendaki ke Ciremai via Linggarjati. Dua cerita itu sempat membuat saya bergidik dan ciut nyali untuk mendaki Ciremai. Namun pada akhirnya jadi juga saya ke sana dan memilih jalur Apuy ketimbang Linggarjati atau Palutungan.
Saya tolak dengan halus tawaran Mamang Ojek tadi dan melipir ke satu warung samping terminal, meletakkan carrier, duduk menyantap nasi kuning dan menyesap teh tawar hangat sambil menunggu langit cerah. Kami berencana mencari rombongan lain yang mungkin bisa diajak patungan membayar pick-upke basecamp Apuy.
Namun hingga langit berubah warna dari biru, jingga, emas, kami tidak menjumpai rombongan lain di terminal. Mungkin karena hari itu hari Minggu sehingga sepi pendaki. Pada akhirnya kami mengiyakan Mamang Ojek yang sedari awal tak berhenti membujuk kami untuk naik ojek. Toh, tak ada salahnya berbagi rejeki dengan mereka. Harga yang diminta juga tidak terlalu mahal, Rp 60.000,- per orang untuk satu jam perjalanan dari Maja ke Basecamp Apuy. Kami juga tidak mau kesiangan karena rencana pendakian hanya dua hari, jadi harus berangkat sepagi mungkin, mendaki sampai pos terakhir dan langsung summit attack keesokan paginya dan langsung turun. Begitu rencana awalnya.
“Ayo Neng taruh di depan aja tasnya”, ujar si Mamang. Saya berikan dan naik ke boncengan dengan kamera terkalung di leheer. Pemandangan dari Maja menuju Basecamp wajib diabadikan. Apalagi pagi itu cuaca cerah dan udaranya sejuk.
Motor bebek digas terus oleh si Mamang menyusuri tanjakan yang kadang berlubang. Setelah jalan aspal habis, kita melintas di jalan tanah dimana beberapa kali kami harus turun karena takut tergelincir jatuh.
Sampai sekitar jam 7 di Basecamp Apuy, kami langsung registrasi di Pos 1 atau Pos Berod. Biaya registrasinya Rp 50.000,- per orang. Lumayan mahal juga ya. Kami sempat bertanya apakah boleh lintas jalur, misalnya naik via Apuy (Majalengka) dan turun via Palutungan (Kuningan) dan jawabannya adalah tidak. Alasannya agar semua pendaki dapat terorganisir data naik dan turunnya, meminimalisir angka pendaki yang tersesat karena naik dan turun dari jalur yang sama. Kata Bapak petugas Taman Nasional Gunung Ciremai ini, banyak sekali pendaki yang tersesat di Ciremai dan penyebab utamanya adalah karena mereka lintas jalur naik dan turun.
Fyi, gunung tertinggi di Jawa Barat ini memiliki tingkat kesulitan pendakian yang lumayan jadi harus mempersiapkan fisik dari jauh-jauh hari. Meski pun katanya mendaki gunung itu lebih kepada ujian mental, tetap saja kalau fisiknya lemah ya zonk. Jadi harus tahu betul kapasitas diri masing-masing saat mendaki gunung.
Ditambah lagi tidak adanya sumber air di jalur pendakian Apuy, akan membuat pendakian lebih berat karena beban air. Untuk pendakian dua hari, kami membawa air 4 botol 1,5 liter, 1 botol minum kapasitas 1 liter dan 1 botol kapasitas 700ml. Pun kami mengatur menu makanan yang tidak membutuhkan banyak air seperti sup atau mie instan berkuah.
Sehabis melakukan pemanasan, kami mulai berjalan pelan. Dari pos 1 menuju pos 2 (Pos Arban) memakan waktu sekitar 30 menit saja dan jalurnya bisa dilewati motor. Berjalan pelan sambil mengatur nafas, kami tertawa-tawa sepanjang jalan. Tidak banyak pendaki yang kami jumpai di jalur dan itu membuat saya senang.
Namun sempat kami berjumpa dengan pendaki yang tidak mengenakan alas kaki, sedang berjalan turun. Saya tanya baik-baik kenapa dia tidak memakai alas kaki, katanya enak begitu daripada pakai sepatu. Saya kecewa dengan pendaki yang abai keselamatan diri seperti dia. Kalau porter okelah kita maklum mereka memang terbiasa memakai sandal jepit atau bahkan bertelanjang kaki. Lah kalau pendaki biasa? Tergelincir lalu kakinya patah? Hanya akan menyusahkan dirinya dan orang lain juga kan? Menurut petugas TNGC, pendaki yang ketahuan tidak mematuhi peraturan pendakian, akan ditarik asuransinya dan pihak Taman Nasional tidak akan bertanggung jawab atas apa pun yang menimpa pendaki nakal itu.
Perjalanan dilanjut lagi dari Pos 2 menuju Pos 3 (Tegal Masawa), jalurnya sudah mulai “yahud” dengan estimasi waktu pendakian 2 jam. Tanjakan dengan elevasi 45 hingga 80 derajat sudah menanti. Beberapa kali kami harus memanjat dengan berpegangan pada akar-akar kayu. Sampai di Pos 3 ternyata ada beberapa pendaki yang sedang isthirahat. Karena sudah hampir jam 12 siang, kami mengeluarkan kompor dan memasak makan siang dan menyeduh susu.
Hujan turun tepat saat kami hampir selesai makan. Dengan sigap kami packing, memasang rain cover dan memakai rain coat lalu bersiap berjalan lagi. Saat hujan, kami berjalan lebih pelan dan hati-hati agar tidak tergelincir. Perjalanan dilanjutkan ke Pos 4 (Tegal Jamuju) dengan estimasi waktu 1 jam. Hujan masih terus mengguyur hingga perjalanan menuju Pos 5 dan syukurlah hujan berhenti dan kami bisa melepas rain coat.
Saya menyenangi perjalanan dari Pos 4 menuju Pos 5 karena menjumpai banyak sekali pohon-pohon besar yang tidak cukup dipeluk satu orang saja. Selain pohon, akar-akaran juga semakin memperindah jalur pendakian. Saking senang dan terpesonanya, kami tak sadar sudah sampai di Pos 5 (Sanghyang Rangkah) yang ternyata kami tempuh dalam waktu 1,5 jam. Kami berencana untuk mendirikan camp di Pos 6 agar dekat dengan puncak. Di Pos 5 kami berjumpa dengan pendaki yang hendak turun, berbincang sebentar dan melanjutkan perjalanan.
Saya sudah lelah namun seperti biasa Janatan selalu kelihatan santai, nggak ada capeknya. Perjalanan menuju Pos 6 dari Pos 5 memakan waktu 2 jam, dengan jalur sempit, berbatu dan cukup terjal. Apalagi setelah ketemu percabangan jalur Apuy dan Palutungan, jarak ke Pos 6 sudah dekat tapi kki rasanya berat bener.
Senangnya selama di jalur, kami dihibur oleh burung jalak hitam yang ada garis orange ikut berjalan melompat dan sesekali terbang di dekat kami. Masyarakat lokal percaya bahwa burung-burung ini bukan sembarang burung. Jangan sesekali mengganggu, menyakiti atau membawa mereka pulang kalau tidak mau mendapat malapetaka. Ya percaya nggak percaya yaaaaa…. Tapi memang benar bahwa kita sebaiknya tidak mengganggu makhluk hidup lain.
“Yok, udah kelihatan itu Goa Waletnya”, kata Janatan, membuat saya semangat. Ternyata lokasinya ada di bawah dan kita harus menuruni jalur. Hanya ada satu tenda biru yang kami jumpai. Kami sapa mereka berdua yang bernama Abi dan Nopri. Hanya kami berempat yang ada di Goa Walet waktu itu.
Goa Walet ini memang agak membingungkan karena katanya banyak walet di sini sehingga dinamai seperti itu, padahal tidak satu pun walet yang saya lihat atau dengar suaranya. Yang ada hanya potongan botol Aqua yang ditinggalkan pendaki untuk menampung air dari stalaktit di dalam goa, meski hanya tetesan-tetesan kecil. Pun air hanya akan menetes saat musim hujan. Jika musim kemarau mungkin tidak ada tetesan air sama sekali. Jadi jangan bergantung dengan air tetesan dari gua, persiapkanlah dengan baik logistik pendakian.
Kami memilih camp di dalam goa, mencari bagian yang rata dan membangun tenda. Habis berganti pakaian hangat, kami memasak makan malam. Malam itu dingin sekali sehingga saya terus-terusan ingin meminum susu. Kami makan banyak sekali agar badan hangat. Tapi tetap saja dingin. Akhirnya kami keluar dan mengajak Abi serta Nopri untuk ngobrol dan membuat api unggun kecil dari ranting kecil yang berserakan namun sayangnya gagal. Hampir sejam kami berusaha tapi tidak berbuah apa-apa. Kami masuk ke tenda masing-masing dan bersiap untuk tidur. Kami berempat berjanji bangun setengah lima pagi untuk berjalan bersama-sama ke puncak.
Seperti biasa, setiap tengah malam pasti saya terbangun karena kedinginan, sehangat apa pun pakaian dan sleeping bag. Seperti biasa juga, Janatan pasti bangun untuk memasak susu hangat, menyendokkan roti dan susu, membuka kaus kaki tebal saya dan menggosok kaki agar hangat lalu tidur lagi. Janatan surely my best travel/hike mate ever.
Menuju Puncak Ciremai
“Bi, Pri udah bangun belum?” panggil saya kepada teman di tenda sebelah kami saat bunyi alarm bersahut-sahutan. Dari Pos 6 (Goa Walet), hanya dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke puncak. Kami bangun pukul setengah lima dan segera bersiap ke puncak dengan membawa air minum, snack dan tripod.
Suhu di luar dingin sekali, membuat enggan bergerak. Namun begitu terbayang dalam imajinasi cantiknya sunrise dari puncak gunung membuat saya tergiur dan ingin cepat berjalan, memanaskan badan.
Kami menyusuri jalanan berbatu dengan perlahan-lahan. Dinginnya udara dan tipisnya oksigen, membuat saya menarik nafas sedalam-dalamnya, sebanyak-banyaknya. Sesekali melihat ke belakang dan melihat pemandangan berlampu Kota Majalengka dan Kuningan.
“Puncak, puncak”, teriak Nopri. Iya, puncak sudah dekat. Sambil menyeret kaki yang berat, saya begitu senang ketika kami berempat berhasil mencapai Puncak. Hanya ada kami berempat, tidak ada pendaki lain. Langit sudah mulai terang dan mulai mengeluarkan semburat jingga. Nopri dan Abi bilang mereka ingin berjalan-jalan ke sisi lain kawah dan tinggallah kami berdua, Janatan dan saya.
Begitu langit sudah sangat cerah, di kejauhan kita bisa melihat Gunung Cikuray dan Gunung Slamet di kejauhan. Puncak Gunung Ciremai yang sebenarnya adalah bibir kawah cukup luas sehingga saya terpikir untuk terbang dari puncaknya memakai parasut paralayang. Terdengarnya seru ya? Semoga bisa terwujud. Amin!
Kawah Gunung Ciremai yang merupakan Gunung Stratovolcano ini masih aktif hingga sekarang sehingga setiap pagi kita bisa melihat belerang membumbung dari dasar kawah. Kita bisa duduk santai di tepi kawah asal selalu melihat jarak aman agar tidak terpeleset ke dalam kawah.
Kami bersantai di Puncak jam delapan pagi, turun ke Pos 6, menyiapkan makan siang untuk dibawa, membereskan tenda dan packing. Kami sempat kaget karena ada tenda lain di dekat kami yang cuma terdiri dari tenda tanpa rangka. Itu tidurnya di dalam bagaimana ya, pikir saya. Abi dan Nopri yang sudah lebih dulu selesai packing, pamit untuk turun duluan dan kami berjanji untuk bertemu di Pos 1 saja untuk sama-sama naik pick-up ke Terminal Maja.
Butuh waktu empat jam untuk turun dari Pos 6 ke Pos 1, itu pun sudah berjalan cepat bahkan setengah berlari. Sedap banget rasanya dengkul begitu sudah sampai di Pos 1. Sempat kecapean juga pas di jalur turun dan kami bobok di jalur. Sepanjang jalan turun kami hanya berjumpa pendaki lain di Pos 5 dan Pos 2. Sisanya kita cuma berdua di jalur dan pas kabut turun berasa lagi ada di film “Silent Hill”.
Sampai di Pos 1, sampah kami diperiksa dan setelah membereskan administrasi, kami mendapatkan sertifikat dan badge dari Taman Nasional Gunung Ciremai. Asooooyyy… Ternyata kalau dulu, biaya pendakian sebesar Rp 50.000,- itu sudah termasuk compliment satu kali makan dan es teh manis, namun kini diganti dengan sertifikat. Lucu juga ya, seumur-umur saya naik gunung tidak pernah dapat “hadiah”. Rasanya jadi gimana gitu…
Jadi, kalian mau mendaki gunung yang katanya mistis ini? Tenang, selama kita berniat baik dan tidak macam-macam di alam, niscaya kita akan aman dan selamat. Jangan lupa berdoa ya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat mendaki Ciremai :
Transportasi ke Basecamp Apuy, bisa naik bus dari Kampung Rambutan dengan jurusan Garut / Tasikmalaya, turun di Cileunyi, lanjut naik elf jurusan Bandung – Cikijing dengan ongkos sekitar Rp 20.000,-, turun di Terminal Maja.Bawa persiapan air yang cukup karena tidak ada sumber air di jalur. Minimal 2 botol x 1,5 liter per orang untuk pendakian 2 hari 1 malam. Jika harinya lebih, ya bawa airnya lebih banyak.Biaya pendakian Ciremai via Apuy adalah Rp 50.000,- per orang. Begitu juga dengan jalur Linggarjati dan Palutungan. Dulu orang-orang percaya bahwa tidak boleh buang air kecil di tanah dan harus di botol. Tapi sayangnya sang emppunya tidak mau membawa turun dan malah jadi nyampah kan. Tidak apa-apa untuk buang air di tanah asal permisi pamit dulu ya dan jangan buang air di jalur ya.
Komentar
Posting Komentar